Karimun sudah sejak
lama disebut dalam catatan sejarah,bahkan catatan sejarah yang paling kuno
ditemukan di Karimun adalah berupa batu bersurat (prasasti) yang ditemukan di
Desa Pasir Panjang, untuk kemudian batu bersurat tersebut terkenal dengan
sebutan Prasasti Pasir Panjang.
Dalam Prasasti Pasir
Panjang yang ditemukan di Desa Pasir Panjang Kecamatan Meral Kabupaten Karimun,
terungkap beberapa catatan penting yang cukup kuat untuk menjadi rujukan, yaitu
tentang masuknya agama Budha di Karimun, yang berarti menunjukkan telah
terjadinya interaksi yang sangat intens antara penduduk Karimun beserta
pulau-pulau disekitarnya dengan Cina yang terjadi sekitar abad 9 – 10 M (Tahun
800 – 900 Masehi) hal ini sebagai mana diungkapkan oleh DR. J. Brandes yang
berhasil mentranskripsi dan menterjemahkan Prasasti Pasir Panjang sebagai
prasasti yang dipahat menggunakan aksara nagari yang berasal dari abad 9 – 10 M
(Brandes 193:21).
Sudah barang tentu ada
peristiwa yang sangat penting ketika itu yang melatar belakangi terjalinnya
hubungan masyarakat di Karimun dengan Cina berabad tahun yang silam.
Bahwa ketika itu Pulau Karimun berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan
Sriwijaya dan bahkan Sriwijaya mendirikan pos penjagaan di Pulau Karimun
tepatnya di Pasir Panjang guna mengamankan jalur pelayaran dan perdagangan
selat malaka yang akan menuju Sriwijaya. Sriwijaya menurut catatan Jt-Tsing
(pengelana Cina) memeluk agama Budha, bahkan di pusat kota tidak kurang 1000
orang pendeta Budha bermukim disana, hal ini sudah barang tentu berpengaruh
kepada agama yang dipeluk penduduk Karimun, yang letaknya memang sangat
strategis yaitu berada di ujung selatan Selat Malaka. Sehingga para musafir dan
pelaut yang melintasi Selat Malaka kearah selatan akan dengan mudah menyinggahi
Pulau Karimun.
Karimun dipandang
sebagai daerah yang sangat berbahaya dan di takuti oleh setiap pelayar dan
pedagang yang akan melintasi ujung selatan Selat Malaka. Hal ini dikarenakan
hampir disepanjang Pulau Karimun dan jajaran pulau-pulau disekitarnya dijadikan
basis operasional bajak laut. Dan bahkan menurut catatan Fa-Hsieu (seorang
pengelana Cina), aktifitas bajak laut ini telah berlangsung sejak abad ke – 4
M. Tao-I Chih (juga seorang pengelana China) yang pernah mengunjungi
daerah Kepulauan Riau pada tahun 1330 – 1340 kembali memperkuat hal ini yang
menyatakan daerah Chi ke Wan (Karimun) menjadi daerah basis bajak laut yang
memiliki pasukan berjumlah cukup besar yaitu terdiri dari 200 – 300 pasukan.
Dan dalam perkembangan selanjutnya para bajak laut ini yang sebagian besar
merupakan penduduk asli Suku Laut yang berasal dari Pulau Karimun dan
pulau-pulau sekitarnya, menduduki wilayah Kerajaan Tumasik (berpusat di Selat
Tumasek, Singapura sekarang) yang ditinggalkan oleh Raja Parameswara yang
mengungsi ke Muar akibat penyerangan Kerajaan Majapahit. Suku laut ini juga
menduduki daerah sekitar Malaka dan ketika Raja Parameswara pindah ke Malaka
maka ia disambut oleh masyarakat suku laut disana dan bersepakat dengan
masyarakat suku laut bersama puak-puaknya yang dikenal dengan Batin dan Lenang
untuk menjadi penyangga berdirinya Kerajaan Malaka untuk sama-sama membangun
dan memajukan Malaka menjadi kota yang ramai sebagai pusat perdagangan antar
negara, dengan Parmeswara sebagai rajanya (1389-1414).
Seiring semakin
pesatnya perkembangan Malaka yang wilayahnya mencakupi daerah Karimun, telah
terjadi juga interaksi dengan para pedagang dari Arab dan Persia, dimana selain
berdagang juga membawa misi penyebaran Agama Islam, maka hal ini sangat
menggugah hati Parameswara, maka pada tahun 1414 ia beralih memeluk agama Islam
dan berganti nama Iskandar Syah dan bergelar Sultan. Hal ini juga diikuti oleh
hampir seluruh rakyatnya, termasuk penduduk Karimun.
Setelah Runtuhnya
Kerajaan Malaka akibat gempuran Portugis pada tahun 1511, maka Sultan Mahmud
Syah – sebagai penerus dari Sultan Iskandar Syah – mendirikan Kerajaan Johor
yang berpusat di Johor dan Bintan. Dua pusat kerajaan ini berada pada lingkaran
gugusan pulau-pulau di Karimun yang dikenal juga sebagai pusat konsentrasi suku
laut sebagai benteng pertahanan kekuatan angkatan laut kerajaan.
Ada peristiwa penting
yang menunjukkan eksistensi dan kekuatan angkatan laut kerajaan yang bermarkas
di Kepulauan Karimun, yaitu pada tahun 1637, armada kekuatan angkatan laut
Kerajaan Johor dalam sebuah pertempuran yang cukup sengit telah berhasil merampas
kapal-kapal Portugis dan berhasil mengalahkan sepasukan Kapal Aceh yang sedang
dalam pelayaran ke Pahang.
Pada tahun 1689 dalam
rangka untuk meningkatkan kemakmuran dan stabilitas keamanan dan politik maka
diadakan suatu perjanjian antara kerajaan Johor dengan Belanda. Namun
perjanjian tersebut ternyata membawa konsekuensi semakin bebasnya orang
Belanda untuk berdagang diseluruh wilayah kerajaan Johor termasuk Kepulauan
Karimun, yang pada akhirnya menyebabkan kerugian bagi kalangan rakyat pribumi,
karena Belanda memonopoli perdagangan.
Alur sejarah kemudian
berganti, pada tahun 1722 Kerajaan Johor berganti nama menjadi Kerajaan
Riau-Lingga dengan daerah kekuasaan yang sama, hanya ibu kota kerajaan saja
yang berpindah dari Johor ke Ulu Riau. Sebagaimana kebiasaan yang turun
temurun, maka nama kerajaan disesuaikan dengan nama daerah pusat
pemerintahannya.
Perjalanan sejarah
Kerajaan Riau-Lingga dari tahun 1722-1784, yaitu terjadi perkembangan yang
sangat pesat dari sektor perdagangan. Sehingga roda ekonomi menggeliat luar
biasa didaerah ini, terutama didaerah Karimun dengan Pulau Kundurnya sebagai
penghasil gambir terbesar kerajaan ketika itu. Sebagai mana diketahui, gambir
ketika itu menjadi komoditi primadona dan banyak dicari oleh pedagang-pedagang dari
India, China, Siam, Jawa dan Bugis. Dengan pesatnya perkembangan perdagangan
didaerah Kerajaan Riau-Lingga maka terjadi persaingan antar Inggris dengan
Belanda untuk menanamkan pengaruhnya dalam kerajaan. Maka pada tanggal 17 Maret
1824 lahirlah sebuah perjanjian antara Inggris dan Belanda yang dikenal dengan
Traktat London.
Dalam Traktat London,
antara Inggris dan Belanda menyepakati untuk membagi wilayah kekuasaan Kerajaan
Riau-Lingga menjadi dua bagian yaitu, Tanah Semenanjung (termasuk Malaka) dan
Singapura menjadi daerah pengaruh Inggris, sedangkan Kepulauan Riau dan Lingga
menjadi daerah pengaruh Belanda. Bahkan demikian pentingnya posisi Pualau
Karimun maka dalam Traktat London itu disebutkan dalam point keempatnya yang
berbunyi; ”Pulau Karimun dan Pulau Buru yang letaknya sangat dekat dengan
Singapura termasuk dalam wilayah kekuasaan Riau-Lingga,” yang artinya berada
dibawah pengaruh Belanda.
Kondisi ini sangat
tidak menguntungkan bagi jalannya stabilitas pemerintahan di kerajaan
Riau-Lingga, sehingga konflik terjadi silih berganti dan baik Belanda maupun
Inggris menjalankan politik adu dombanya, yang menyebabkan perang saudara
terjadi. Maka pecahlah Perang Karimun pada tahun 1827, antara pasukan yang di
Pertuan Muda Raja Ja’far yang berpusat di Hulu Riau dengan Sultan Husin yang
berpusat di Singapura. Konflik ini dipicu oleh ketidak setujuan Sultan Husin
menyerahkan Karimun ke tangan Belanda sementara yang di Pertuan Muda Riau VI
Raja Ja’far (1808-1832) telah memberitahukan kepada Sultan Husen (berdasarkan
traktat London), bahwa Pulau Karimun tersebut bukanlah daerah takluk Johor atau
daerah takluk Sultan Husen, oleh karenanya mereka tidak berhak mendiami pulau
tersebut.
Dengan konflik yang
berkepanjangan, menyebabkan Pulau Karimun tidak kondusif untuk aktifitas
perdagangan dan mulai ditinggalkan. Keadaan Karimun yang demikian dilaporkan
kepada yang di Pertuan Muda Riau, dan oleh beliau sepakat menyerahkan Pulau
Karimun Kepada Raja Abdullah bin Raja Haji Ahcmad, serta diangkat menjadi Amir
Karimun pertama. Semenjak saat itu stabilitas Karimun mulai pulih, kemudian
datang seorang Resident Belanda bernama Fandenbosch yang meminta izin untuk
membuka tambang timah, dan diizinkan dengan dibuatkan perjanjian dengan pihak
kerajaan. Maka oleh Fandenbosch di Pulau Karimun di buka tambang timah yang
diberi nama Monos. Sehingga tidak lama kemudian keadaan Pulau Karimun menjadi
ramai. Meskipun pada dasarnya penambangan itu hanya menguntungkan pihak
Belanda.
Hingga meletuslah
perang Asia Timur Raya pada akhir tahun 1941 yang dicetus oleh Jepang. Dan
Jepang masuk kewilayah Karimun setelah penaklukan Singapura tanggal 15 Februari
1942 oleh Jepang dari Inggris, selanjutnya penaklukan Tanjungpinang pada
tanggal 21 Februari 1492. dan setelah itu Pulau Karimun. Sejak saat itu
pemuda-pemuda Karimun yang tersebar di Pualu Moro, Kundur, Meral, Buru, dan
Karimun sendiri terlibat dalam Pasukan Gyutai tentara Jepang, yaitu pasukan
yang bertugas mengawal pulau-pulau. Sehingga bagi masyarakat Karimun dan
Kepulauan Riau umumnya tidak ada pengerahan tenaga kerja paksa (Romusha).
Hingga kemudian pada
tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu, maka Indonesia
dinyatakan merdeka dan memproklamirkan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus
1945.
Pada masa kemerdekaan Kepulauan Karimun terus berbenah
hingga pada tanggal 15 Mei 1999 terjadi musyawarah besar seluruh rakyat
Kepulauan Riau yang menuntut pemekaran wilayah menjadi provinsi sendiri
terpisah dari Provinsi Riau, hal ini menuntut untuk terjadinya pemekaran daerah
yang berujung pada Kepulauan Karimun yang mencakup Kecamatan Karimun, Kecamatan
Moro dan Kecamatan Kundur harus menjadi sebuah Kabupaten. Akhirnya gayungpun
bersambut dengan diterbitkannya UU No. 53 Tahun 1999 tentang pembentukan
Kabupaten Karimun, bersama 35 Kabupaten lainnya diseluruh Indonesia yang
disahkan oleh Presiden pada tanggal 4 Oktober 1999 dan Kabupaten Karimun
diresmikan oleh Mendagri pada tanggal 12 Oktober 1999 serta melantik pejabat
Bupati Kabupaten Karimun Drs. H.M Sani, dan tercatat sebagai bupati pertama
Kabupaten Karimun. Sejak saat itu geliat pembangunan Kabupaten karimun terus
meningkat. Luas wilayah Kabupaten Karimun saat
ini adalah 7.984KM2 dengan jumlah penduduk 272.985 jiwa (hasil sensus
2011). Jumlah pulau yang ada di Kabupaten Karimun sebanyak 249 buah
dan 54 pulau diantaranya sudah berpenghuni. Sebelumnya Kabupaten Karimun
memiliki sebanyak 9 kecamatan, namun pasca pengesahan Peraturan Daerah
mengenai pemekaran desa, kelurahan dan kecamatan di wilayah Kabupaten Karimun,
maka saat ini wilayah Kabupaten Karimun meliputi 12 kecamatan. Dan saat ini
Karimun dikenal sebagai daerah industri kapal (galangan kapal), pertambangan
(batu geranit, pasir, bauksit, batu andesit dan timah), pertanian, perikanan
dan pariwisata. Selain itu Letak geografis karimun sangat strategis
berada di jalur pelayaran internasional, dan berhadapan langsung dengan pusat
perdagangan dunia, Singapura sehingga Memiliki peluang yang sangat besar untuk pengembangan kegiatan
pergudangan dan parkir kapal serta didukung dengan Adanya FTZ (free trade zone) di Kabupaten Karimun ( sesuai PP No.48 Tahun 2007) merupakan
peluang investasi dan pengembangan ekonomi
bagi kabupaten karimun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar